Kepoin Apa Itu Etnosetrisme Konsumen dan Efeknya ke Pemasaran Internasional Yuk!

Etnosentrisme konsumen ternyata memberikan pengaruh ke kekuatan branding dan marketing sebuah merek terhadap konsumen lokal hingga pasar internasional. Baca selengkapnya di sini!

, , , ,

By.

min read

Etnosetrisme Konsumen & Efeknya ke Product Marketing

Sadar enggak sih, sobat Nanas? Persepsi rakyat setiap negara pada produk buatan dalam negeri bisa berbeda banget. Ada negara yang banyak rakyatnya mendukung penuh produk dalam negeri mereka, ada juga yang acuh tak acuh dan biasa aja gitu. Hal ini ada hubungannya sama etnosentrisme konsumen. Apa tuh? Yuk, kita belajar bareng-bareng!

Tentang konsep etnosentrisme konsumen

Setelah belajar soal guerilla marketing, sekarang kita lanjut belajar tentang konsep etnosentrisme konsumen! Teori etnosentrisme konsumen di dunia marketing sendiri terhitung baru nih, sobat. Kita breakdown pelan-pelan dulu ya untuk bahas konsep ini.

Seperti kita tahu, ada beberapa faktor yang menjadi alasan konsumen membeli suatu barang. Bisa karena reputasi merek, harga, kualitas, loyalitas konsumen, dan lainnya. Nah, kalian pernah enggak nemu orang yang beli barang simply karena produk itu diproduksi di negara sendiri?

Yes, jadi etnosentrisme konsumen ini, sederhananya, merujuk pada tendensi konsumen untuk membeli produk dalam negeri saja. Etnosentrisme ini agak ekstrim. Ketika kita membahas tentang etnosentrisme, ada rasa lebih superior saat memilih satu produk dalam negeri dibanding yang lainnya. Sehingga, bisa dibilang rasa nasionalisme konsumen menjadi faktor utama dalam menentukan produk yang akan mereka beli.

“Kok bisa sih Nas, ada yang secinta buta itu sama produk dalam negeri? Masa beneran enggak ngelihat faktor-faktor lainnya sih kalo mau beli sesuatu?”

Bisa dong! Soalnya, konsumen merasa dengan dia mendukung merek lokal, dia juga turut membangun ekonomi bangsa. Apalagi kalau mereka yang didukung bisa dinotis pasar internasional, rasa bangga dan loyalitas mereka pun akan ikut meroket.

“Memang apa pentingnya sih kita belajar tentang etnosentrisme konsumen, Nas? Ada gitu hubungannya sama digital marketing?”. Weits, konsep ini bisa banget buat jadi pertimbangan ketika akan menginjak pasar internasional loh.

Beda negara, beda tendensi etnosentrisme

Ada banyak hal yang menimbulkan tendensi etnosentrisme konsumen. Faktor-faktor ini bisa dibagi jadi empat, yaitu perspektif sosio-psikologis, keadaan ekonomi, keadaan politik, dan demografis. Jadi, enggak heran kalau rakyat setiap negara juga menunjukkan hasil yang berbeda terkait konsep ini.

Dari penelitian Ruyter bersama rekan-rekannya yang Nanas baca misalnya, menunjukkan kalo hasil penelitian di Korea dan Belanda itu berbeda. Salah satu alasan paling kuat ya karena budaya kedua negara yang berbeda.

Jangankan dua negara yang berada di dua benua yang berbeda, negara-negara di benua yang sama pun bisa beda, lho! Penelitian Steenkamp yang dilakukan di Eropa buktinya. Riset yang dilakukan pada tahun 1993 itu membuktikan kalo Yunani dan Spanyol memiliki tendensi etnosentrisme yang lebih tinggi dibanding Belgia dan Inggris.

“Masa gitu sih, Nas? Trus mereka enggak mau mengonsumsi produk luar negeri sama sekali gitu?”. Ya enggak juga sih. Tapi yang jelas, di negara dengan tendensi etnosentrisme yang kuat, kemungkinan produk luar diterima jadinya juga lebih kecil. Bahkan, di sebuah studi, dikatakan kalo etnosentrisme itu salah satu penghalang suksesnya bisnis di pasar internasional.

“Trus gimana dong caranya produk luar negeri bisa diterima dengan baik oleh rakyat-rakyat di negara dengan tendensi etnosetrisme yang tinggi?”.

When in Rome, do as the Romans do

Alias ya kita perlu ngikutin apa yang mereka mau. Tentunya, ini juga berarti kalo branding dan kampanye iklan tidak boleh disamaratakan. Perlu ada beberapa perubahan agar merek dan produk yang ditawarkan lebih mudah diterima locals.

Ruyter sendiri di penelitiannya menyebutkan kalau branding mungkin jadi salah satu aspek yang paling terpengaruhi oleh etnosetrisme konsumen ini. Ada baiknya branding sebuah merek menunjukkan secara blak-blakan kalau mereka memang merek luar negeri atau malah menutupi identitas negaranya.

Salah satu contohnya adalah merek mobil asli Jepang, Nissan. Di awal masuknya Nissan ke pasar Eropa, perusahaan otomotif Jepang ini menggunakan nama lain, Datsun. Strategi pemasaran yang dilakukan di negara-negara dengan tendensi etnosentrisme tinggi juga akan menunjukkan hasil lebih baik jika merefleksikan negara tujuannya.

Kali ini kita beralih ke contoh lain dari riset Good dan Huddlestone pada tahun 1995. Katanya sih, konten iklan yang “lokal banget” plus penggunaan aktor lokal lebih disukai sama rakyat Polandia dan Rusia. Apalagi kalau iklannya menonjolkan sejarah dan budaya negara mereka.

Tapi tapi tapi, ternyata perbedaan bisnis dan produk yang ditawarkan juga mendapat perlakuan yang berbeda lho di negara dengan tendensi etnosetrisme konsumen tinggi. “Produk atau jasa yang gimana tuh?”. Of course, yang dianggap penting untuk kehidupan sehari-hari! Mereka jadi lebih mudah diterima gitu, mungkin karena memang produknya dianggap penting atau jadi kebutuhan primer dan sekunder di negara tersebut, ya.

Sementara sih ini dulu yang Nanas bisa kasih tahu ke kalian. Kalau ada hal lain terkait etnosentrisme konsumen yang kalian mau tahu, bisa banget calling-calling Nanas di medsos kita ya!

Clothing store photo created by Lifestylememory – www.freepik.com